Guru Danau merupakan panggilan akrab atau nama populer bagi Tuan
Guru Asmuni. Nama “Danau” yang dilekatkan pada dirinya sebenarnya merupakan
nama singkat dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, Danau Panggang. Danau
Panggang merupakan salah satu Kecamatan di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara
yang terletak sekitar 24 km dari kota Amuntai. Saat ini (2018), Guru Danau berusia 63 tahun. Ini berarti beliau lahir pada tahun 1955 di Danau
Panggang. Ayahnya bernama H. Masuni dan ibunya bernama Hj. Masjubah.
Beliau merupakan anak ketiga dari
delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang sedang ibunya
beretnis Dayak Bakumpai berasal dari daerah Marabahan yang pindah ke Danau
Panggang. Dari garis ibunya Guru Danau menjadi bagian dari zuriat Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari. Sewaktu kecil, Guru Danau bernama Zarkasyi. Oleh
seorang habib yang bernama Habib Salim Mangkatip nama itu diubah menjadi
Asmuni. Menurut Guru Danau, Asmuni itu berarti berharga.
Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat
beragama. Orang tuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal dengan pendapatan
yang pas-pasan. Pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat
orangtuanya untuk membiayai pendidikannya di sejumlah pesantren baik yang
berada di Kalimantan Selatan maupun di Pulau Jawa. Guru Danau termasuk
beruntung, karena tidak banyak orang di daerahnya yang mampu dan memiliki
kesempatan untuk berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar meski dalam waktu
singkat.
Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah
Pesantren Mu’alimin Danau Panggang (tamat tahun 1971) dan Madrasah Tsanawiyah
Pesantren Mu’alimin Danau Panggang (tamat tahun 1974). Setelah itu beliau
meneruskan studinya di tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam
Martapura (tamat tahun 1977). Selama belajar di Martapura, selain belajar di
Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama (tuan guru)
yang bertebaran di Martapura. Salah satu ulama Martapura tempatnya belajar adalah
KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai (w. 2005), salah satu ulama kharismatik
yang disebut juga dengan nama Guru Sekumpul.
Setelah tamat di Pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung
halamannya. Tidak lama kemudian, pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai dia
kembali belajar di Pesantren Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di sini dia
belajar dengan ulama kharismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
yaitu KH. Muhammad Syarwani Abdan (w. 1989). Sebelum ke Bangil, Guru
Danau terlebih dahulu ke Wonosobo menemui para habaib yang ada di sana dan mengambil
tarikat Naqsyabandiyah dari salah seorang habaib bersama dengan Habib Lutfi
Pekalongan. Setelah selesai belajar di Bangil, Guru Danau tidak segera pulang, beliau terus memperdalam pengetahuan agamanya dengan
mengunjungi dan belajar secara singkat kepada sejumlah ulama. Salah satu diantara
ulama tempatnya belajar adalah KH. Abdul Hamid Pasuruan. Kegiatan belajar
singkat dengan sejumlah ulama di Jawa ini dilakukan oleh Guru Danau untuk
mendapat berkah ilmu dengan bertemu dan belajar kepada mereka. Hanya saja,
studi Guru Danau di Pulau Jawa terutama di Bangil tidak berlangsung lama, hanya
beberapa bulan. Dia kembali ke kampung halamannya untuk membuka pengajian.
Pada tahun 1980 Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah yang berasal
dari Bitin. Inilah satu-satunya istri Guru Danau. Dia tidak ingin melakukan
poligami seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama Banjar lainnya. Baginya,
tidak ada alasan untuk dirinya beristri lebih dari satu. Apalagi dari perkawinannya
itu, dia memperoleh tiga belas orang anak (enam putra dan tujuh putri). Dengan
anak sebanyak ini, Guru Danau merasa tidak perlu menambah istri.
Setelah berumah tangga dan memiliki anak, aktivitas dakwahnya
tidak terganggu. Malah sebaliknya, aktivitasnya semakin meningkat. Beliau semakin aktif mengisi pengajian dan mengajar di
pesantren. Seiring dengan itu, namanya pun semakin dikenal dan jadwal
ceramahnya juga semakin padat. Di sela-sela kesibukannya itu, Guru Danau tidak
lupa untuk tetap belajar. Secara rutin dia tetap mengikuti pengajian Guru Ijai
di Martapura baik ketika masih di Keraton maupun setelah pindah ke Sekumpul.
Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai sampai sang guru meninggal dunia
pada tahun 2005.
Ketika ingin membuka pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta
izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh bapintaan
(meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang
memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat
ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian
ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap
imbalan uang.
Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1978 (sebelum
menikah) dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada tahun 1980, beliau kembali
membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Pada
tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang
tidak banyak. Bahkan, pada awal aktivitas dakwah dan pengajiannya itu, terdapat
orang-orang tertentu yang tidak senang kepadanya. Beliau difitnah sebagai
penceramah yang keras dan suka mengomel. Fitnah ini bertujuan agar orang tidak
mau belajar kepadanya dan tidak mau mendengar ceramahnya. Untuk menangkal
fitnah ini, Guru Danau memanfaatkan radio orari yang ramai digunakan ketika itu
untuk menampilkan citra dirinya. Setelah dua bulan masyarakat mendengar
ceramahnya, mereka pun menemukan gaya ceramah Guru Danau yang sesungguhnya.
Ternyata Guru Danau tidak sejelek yang mereka bayangkan. Bahkan sebaliknya,
mereka justru tertarik mengikuti pengajian dan ceramahnya. Setelah fitnah itu
terhenti dakwah melalui radio Orari ini dihentikan seiring dengan semakin bertambahnya
jamaah yang menghadiri pengajiannya hingga lama-kelamaan mencapai ribuah orang.
Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam minggu) sedang di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin
Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau di sekitar Pasar
Bitin. Rumah ini terbuat dari kayu yang sederhana. Ruang dalam rumah yang
dipakai untuk pengajian tidak luas. Tidak banyak jamaah yang bisa ditampung
dalam rumah ini. Hanya mereka yang menjadi murid dekat sang guru atau tamu
khusus saja yang dapat berada di sini. Karena tidak ada lapangan yang luas,
ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar.
Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai
beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau
Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman, yang tepat berada
di samping rumah Guru Danau. Mushalla Darul Aman merupakan mushalla kecil yang hanya
mampu menampung puluhan jamaah. Ribuan jamaah yang jumlahnya lebih besar dari
pengajian di Bitin harus menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar serta ruas jalan yang ada. Demikian
juga demikian dengan masjid yang ada disekitar tempat pengajian itu.
Pada dekade 1990-an (1998), Guru Danau kembali membuka pengajian di
Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Pada awalnya, Mabuun merupakan sarang
pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini
dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini
tidak berhasil. Akhirnya, beliau membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya
pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian
itu berhenti dengan sendirinya. Pengajian di Mabuun ini kemudian menjadi pengajian
Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah. Kuantitas
jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau
Panggang dan Bitin. Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam rabu setiap setengah bulan sekali. Jarak setengah bulan
sekali (tidak seminggu sekali) dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi
tempat pengajian. Jamaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin,
atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah (seperti Murung Raya) memiliki persiapan
yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Komplek pengajian Guru
Danau di Mabuun lebih luas dan lebih baik kondisinya dibanding pengajian di
Bitin dan Danau Pannggang karena memiliki area yang lebih luas yang
memungkinkan menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai
puluhan ribu jamaah ini, pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai
pengajian terbesar di kawasan Banua Anam.
Dengan jumlah jamaah pengajian yang begitu banyak, tidak aneh
kalau murid Guru Danau tersebar di mana-mana di Banua Anam. Murid-murid Guru Danau
terutama murid-murid awalnya sangat taat dan setia kepadanya. Bahkan, sebagiannya
berkhadam (berkhidmat) kepadanya dengan setia. Jika Guru Danau bepergian ke
suatu tempat untuk keperluan pengajian, ceramah, ziarah atau keperluan lainnya,
murid-murid dekatnya selalu mengikutinya. Karena itu, tidak mengherankan jika
konvoi iringan-iringan mobil rombongan Guru Danau mencapai puluhan bahkan
seratus buah mobil. Jika rombongan ini melintas, segera menjadi perhatian
masyarakat karena panjangnya iring-iringan itu. Bahkan, pernah Guru Danau
mencarter dua pesawat untuk mengangkut dirinya dan rombongannya menuju Jakarta.
Selama bepergian ke beberapa daerah terutama di wilayah Kalimantan
Tengah, Guru Danau sering berganti-ganti mobil saat dalam perjalanan. Mobil ketika
pergi dan ketika pulang berbeda. Menurut Guru Danau, hal ini dia lakukan untuk
kepentingan keamanaan. Dia mengungkapkan, bagaimanapun ada saja orang-orang yang tidak senang dengannya.
Misalnya, dia mengaku telah berhasil mengislamkan 1400 orang Kristen Dayak di
wilayah dakwahnya (sedangkan ceramah Guru Danau di Sungai Lulut 10/12/2017 yang
diliput oleh Tim Aswaja Net Banjarmasin, mengaku telah mengislamkan 1600 orang).
Ini tentu membuat pastur-pastur Kristen marah dan tidak senang kepadanya. Karena
itu, kalau Guru Danau melakukan perjalanan ke wilayah Kalimantan Tengah atau
melewati kampung-kampung Dayak dia selalu berhati-hati. Orang-orang yang tidak senang kepadanya bisa saja melakukan
hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencelakai dengan menggunakan parang
maya (santet khas Dayak).
Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya
meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya.
Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya,
diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih
al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani),
Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah
al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah
Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari
daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab
berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap
mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi
penjelasan yang “ringan‟ oleh Guru Danau.
Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup
unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau
pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, jokejoke,
pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru
Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan.
Gaya ceramah seperti ini sedikit banyaknya diwarisi Guru Danau dari gurunya,
Guru Ijai. Guru Ijai juga sering menyisipkan humor dalam penyampaian
pengajiannya termasuk bercanda dengan murid-murid pada lingkar terdepan
pengajiannya. Bahkan, Guru Danau pernah mengatakan bahwa Guru Ijai itu lebih
lucu (humoris) daripada dirinya. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam
ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian
tanpa merasa bosan dan berat.
Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca
beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan terkadang tidak selalu
terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca karena banyak
disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda dan sebagainya. Teknik seperti
ini tampaknya sangat disukai oleh jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka
juga mendapat “hiburan‟ yang menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya
tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru
Danau.
Danau.
Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan
digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan
mayoritas jamaahnya. Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan
contoh-contoh dan Ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas
sosiobudaya dan keseharian masyarakat sekitar sehingga isi ceramahnya sangat
merakyat. Dengan cara seperti ini materi yang disampaikannya mudah dipahami
oleh jamaahnya yang berasal dari berbagai
lapisan sosial. Daya tarik Guru Danau tidak hanya terletak pada kemampuannya dalam berdakwah tetapi juga adanya persepsi umum bahkan kepercayaan dari jamaahnya bahwa orang-orang yang mengikuti pengajian Guru Danau dapat menjadi kaya atau paling tidak membawa berkah berupa rezeki yang bertambah. Beberapa murid dekatnya menjadi bukti nyata. Contohnya adalah murid sekaligus sopir pribadinya yang telah memiliki kekayaan yang mencapai empat milyar rupiah. Murid-murid awalnya bahkan menyebutnya sebagai wali Allah. Beberapa kisah kekeramatan mengenai Guru Danau yang berasal dari murid-muridnya banyak yang mengarah pada meningkatnya rezeki orang-orang yang mengikuti pengajiannya. Mereka yang mengaji dengannya akan memiliki usaha yang berhasil dan mampu naik haji. Peningkatan kesejahteraan jamaah pengikut pengajiannnya seringkali dihubungkan dengan berkah Guru Danau. Persepsi ini ditambah dengan isi ceramah Guru Danau sendiri yang banyak mengarahkan dan memotivasi jamaah pengajiannya untuk giat bekerja dan hidup mandiri. Guru Danau menganjurkan jamaahnya untuk mengikuti para nabi. Tidak ada satu pun nabi yang tidak bekerja dalam hidupnya. Mereka bekerja dan hidup mandiri.
lapisan sosial. Daya tarik Guru Danau tidak hanya terletak pada kemampuannya dalam berdakwah tetapi juga adanya persepsi umum bahkan kepercayaan dari jamaahnya bahwa orang-orang yang mengikuti pengajian Guru Danau dapat menjadi kaya atau paling tidak membawa berkah berupa rezeki yang bertambah. Beberapa murid dekatnya menjadi bukti nyata. Contohnya adalah murid sekaligus sopir pribadinya yang telah memiliki kekayaan yang mencapai empat milyar rupiah. Murid-murid awalnya bahkan menyebutnya sebagai wali Allah. Beberapa kisah kekeramatan mengenai Guru Danau yang berasal dari murid-muridnya banyak yang mengarah pada meningkatnya rezeki orang-orang yang mengikuti pengajiannya. Mereka yang mengaji dengannya akan memiliki usaha yang berhasil dan mampu naik haji. Peningkatan kesejahteraan jamaah pengikut pengajiannnya seringkali dihubungkan dengan berkah Guru Danau. Persepsi ini ditambah dengan isi ceramah Guru Danau sendiri yang banyak mengarahkan dan memotivasi jamaah pengajiannya untuk giat bekerja dan hidup mandiri. Guru Danau menganjurkan jamaahnya untuk mengikuti para nabi. Tidak ada satu pun nabi yang tidak bekerja dalam hidupnya. Mereka bekerja dan hidup mandiri.
Persepsi dan kepercayaan ini semakin terbangun dengan melihat pada
figur Guru Danau sendiri sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan
besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang
terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha
ini ternyata menghasilkan keuntungan besar. Dari usaha bisnis emasnya, Guru
Danau berhasil memiliki emas mencapai 30 kilogram. Dari usaha sarang burung
walet Guru Danau juga meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha burung walet ini
dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah
sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat. Dari beberapa usahanya
ini, Guru Danau mengakui bisnis sarang burung walet lebih disukainya daripada
bisnis emas karena lebih mudah dan menghasilkan untung yang banyak.
Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau
menjadi orang kaya. Dia memiliki 22 buah rumah dan memiliki beberapa mobil mewah
(dua buah mobil jenis Alphard). Dengan jumlah rumah sebanyak itu, beliau dapat
menyediakan rumah masing-masing untuk ketiga belas anaknya. Dengan mobil
Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman.
Walaupun memiliki ini semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan
bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk
bermegah-megah. Tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya,
mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang
mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan
lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan
untuk mendapat bayaran dari jamaahnya.
Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat
membiaya semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya
tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan)
karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima
dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu
kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati
penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki
kepentingan tertentu. Kemandirian inilah yang membuat dirinya tidak bisa
diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik. Dia juga menolak
dana atau bantuan dan hadiah yang tidak jelas sumber dan status kehalalannya.
Hadiah yang diberikan oleh para pejabat berupa mobil atau lainnya juga tidak
diterimanya.
Meskipun tidak mau menerima pemberian atau bantuan pemerintah dan
menjaga jarak dengan partai politik, Guru Danau tetap dekat dengan sejumlah
pejabat. Dia bersedia menghadiri undangan ceramah dari para bupati dan gubernur
dengan syarat pejabat yang bersangkutan menghadirinya. Dia tidak segan-segan
memuji pejabat yang menurutnya memiliki reputasi baik dan sebaliknya juga tidak
segan-segan memberi nasihat kepada pejabat yang menurutnya melalaikan
kepentingan rakyat. Dia sering menasihati pejabat agar membuat jalan raya yang
bagus untuk rakyat daripada hanya membangun
perkantoran. Jalan yang baik jelas dinikmati rakyat tetapi kantor yang mewah hanya dinikmati oleh para pejabat.
perkantoran. Jalan yang baik jelas dinikmati rakyat tetapi kantor yang mewah hanya dinikmati oleh para pejabat.
Selain memiliki tiga pengajian besar, Guru Danau juga mendirikan
dan membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan pesantren Darul Aman
di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Sampai saat ini pesantren ini tetap
berjalan dan pada tahun 2011 ini jumlah santrinya mencapai 800 orang. Nama
Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru
Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai mushalla di samping rumahnya dengan nama
Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura. Pesantren
lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong Kecamatan
Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Ar Raudah II di
Pangkalanbun. Jadwal dan mobilitas dakwahnya yang padat membuat Guru Danau
tidak memiliki waktu yang cukup untuk aktif mengajar di pesantren. Area
dakwahnya yang meliputi wilayah Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur tidak
memungkinkannya untuk mengajar secara rutin di pesantren. Akhirnya, aktivitas
mengajarnya di pesantren digantikan oleh guru-guru staf pengajar Pesantren
Darul Aman.
Aktivitas lain yang juga banyak menyita waktunya adalah menerima tamu
dengan berbagai kepentingan. Setiap harinya rumah beliau banyak dikunjungi tamu
dari berbagai daerah. Mereka yang bertamu ini berasal dari berbagai lapisan
mulai dari pejabat, ulama, politisi, kalangan akademis, pengusaha hingga rakyat
biasa. Mereka datang dengan berbagai kepentingan. Para pejabat yang datang
paling tidak untuk silaturahmi, mohon doa, dukungan, atau memberi hadiah
(walaupun ditolak). Politisi biasanya meminta dukungan dan ajakan kepadanya
untuk masuk partai. Tawaran seperti ini selalu ditolak oleh Guru Danau. Dia
tidak mau berpolitik dan tidak mau dimanfaatkan untuk kepentingan politik
partai tertentu. Sementara kalangan masyarakat awam biasanya datang untuk
berkonsultasi mengenai berbagai masalah baik masalah agama, masalah bisnis dan masalah keseharian
lainnya. Ada juga sejumlah orang yang datang sambil membawa botol air mineral
(aqua) dan disodorkan kepadanya untuk dibacakan doa tertentu. Ketika tim
peneliti berkunjung ke rumahnya pada tanggal 27 November 2011 di Danau
Panggang, sejumlah tamu yang berkunjung kepadanya justru berkonsultasi mengenai
bagaimana cara mengelola sarang burung walet yang baik agar dapat membuahkan
hasil yang maksimal. Konsultasi seperti ini tidak mengherankan karena dia merupakan
pengusaha sarang burung walet yang sukses.
Untuk kepentingan melayani tamu yang berkunjung kepadanya, Guru Danau
menyediakan waktu-waktu tertentu. Pada hari Minggu waktu yang disediakan mulai
pukul sebelas sebelum zuhur. Pada hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis, Guru
dapat dikunjungi setelah salat zuhur hingga menjelang ashar. Itupun kalau Guru
Danau tidak melakukan kunjungan dakwah atau mengisi ceramah di tempat lain.
Para tamu yang datang harus menyesuaikan kedatangannya dengan waktu-waktu yang telah disediakan itu karena dia jarang ada di rumah.
Prinsip hidupnya, tiada hari tanpa dakwah, membuatnya harus selalu berada di
mana-mana di tengah-tengah jamaahnya.
Sumber
buku: Mujiburrahman, M. Zainal Abidin, dan
Rahmadi. Ulama
Kharismatik Di Tanah Banjar: Potret Guru Danau, Guru Bakhiet, dan Guru Zuhdi. Cet. 1. Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 2016.
Sekilas tentang penulis buku: Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag. dan
Rahmadi M.Ag. merupakan peneliti
dan Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Antasari Banjarmasin, sedangkan Dr.
Mujiburrahman, M.A. sekarang menjadi Rektor UIN Antasari Banjarmasin.